New York – RADAR- Ulah spekulan diyakini jadi penyebab harga minyak dunia gujlak-gajluk tak keruan. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasinya. Baru Jumat (13/6), para spekulan mundur teratur.
Sebenarnya, ada beberapa faktor yang mendukung penurunan harga minyak pada perdagangan akhir pekan ini. Salah satunya adalah menguatnya nilai tukar dolar AS terhadap euro.
Greenback menguat terhadap euro setelah laporan Departemen Tenaga Kerja AS menyebutkan bahwa harga konsumen naik dengan peningkatan terbesar sejak November 2007.
Kondisi itu membantu mengalihkan kekhawatiran bahwa tingginya inflasi dapat menekan para pembelanja untuk mengetatkan ikat pinggang.
Sementara investor yang memborong komoditas minyak akan melakukan proteksi melawan inflasi ketika dolar melemah dan cenderung melepas minyak saat dolar kembali menguat. Menguatnya dolar juga membuat harga minyak lebih tinggi bagi investor asing. Jadi, untuk mencegah kerugian, mereka melepas komoditas itu.
Harga minyak mentah di pasar New York, Jumat (13/6), turun US$ 1,88 menjadi US$ 134,86 per barel. Harga minyak jenis Brent melemah US$ 1,84 menjadi US$ 134,25 per barel.
Di luar itu, ada satu faktor lagi yang tak kalah berpengaruh. Faktor itu adalah pernyataan Arab Saudi, produsen minyak terbesar di dalam OPEC, yang mempertimbangkan menambah produksi mendekati level tertinggi, yaitu 10 juta barel per hari.
Keputusan tentang apakah hendak menambah produksi atau mengambil opsi lain, Arab Saudi akan membahasnya dalam pertemuan produsen dan konsumen minyak di Jeddah pada 22 Juni.
Saudi diperkirakan menaikkan produksi minyak 9,45 juta barel per hari bulan ini. Mei lalu, mereka mengumumkan akan menambah produksi 300.000 bph agar ada penurunan produksi dari negara-negara anggota OPEC lainnya.
"Arab Saudi berjuang keras agar harga minyak turun," ujar John Kilduff, Senior Vice President MF Global.
Arab Saudi memang sengaja tidak langsung bereaksi ketika harga minyak gujlak-gajluk. Mereka menilai lonjakan harga itu disebabkan oleh ulah para spekulan. Mereka melihat, secara fundamental pasar minyak normal. Artinya, antara pasokan dan kebutuhan masih berimbang.
"Arab Saudi mendesakkan pertemuan ini sebagai wujud peran positifnya dalam pergaulan internasional. Juga merupakan komitmennya pada perekonomian dunia dan keinginan untuk menciptakan pasar minyak global yang seimbang,” imbuh Naimi.
Pasar minyak memang telah menjadi ajang spekulasi setelah pasar keuangan dan saham dunia tak lagi bergairah seiring lesunya perekonomian AS. Tahun ini, harga minyak telah melompat jauh, 40%, hingga mencapai level di atas US$ 139 per barel.
Tingginya harga minyak ini telah memicu aksi protes di sejumlah negara, termasuk Indonesia dan Malaysia, menyusul kebijakan pemerintahnya menaikkan harga BBM guna mengurangi subsidi.
Harga minyak sejauh ini telah meningkat lebih dari enam kali lipat sejak 2002, ketika pasokan minyak tak mampu mengimbangi kebutuhan minyak dari negara-negara berpertumbuhan cepat seperti China dan India.
Ditambah lagi, datangnya gelombang dana tunai dari para investor yang mencari perlindungan terhadap tingginya inflasi dan melemahnya dolar. Kondisi inilah yang disebut sebagai aksi spekulasi.
Tapi, menghadapi harga minyak yang sepertinya enggan melorot lagi, sejumlah negara dan kelompok industri mengurangi permintaan mereka terhadap energi fosil ini. Ini pula yang ikut memaksa harga minyak terkoreksi.
OPEC menjadi kelompok terakhir yang mengurangi perkiraan terhadap pertumbuhan kebutuhan minyak global tahun ini. Begitu juga Badan Energi Internasional. Mereka memangkas perkiraan pertumbuhan permintaan minyak pada 2008 menjadi 800.000 bph.
OPEC kini mengestimasi kebutuhan minyak global akan tumbuh 1,28% menjadi rata-rata 86,9 juta bph, turun dari perkiraan sebelumnya yang 1,35%. "Revisi prospek kebutuhan minyak hingga akhir tahun ini juga memberikan andil penurunan harga minyak saat ini," sebut OPEC.
Phil Flynn, analis di Alaron Trading Corp di Chicago, mengatakan, revisi perkiraan itu menunjukkan permintaan minyak global sedang melemah. Tren penurunan permintaan minyak ini akan makin cepat jika harga minyak belum juga melorot dengan cepat.
Nah, jika kebijakan menghemat penggunaan minyak ini terus diterapkan di sejumlah negara. Selain menjaga stabilitas harga, juga mengurangi eksploitasi ‘emas hitam’ ini sehingga cadangannya tak cepat habis. [I3]