Aku mencoba untuk mengingatkannya, agar tidak menggunakan nalar nakalnya yang berbahaya itu. Ia menyentuh kawasan yang amat rawan. Menggoda iman. Mendobrak kemapanan. Tak terbayangkan, jika pendapat itu ia lontarkan di negeri ini, bisa-bisa halal darahnya oleh orang yang tak sepakat dengan gagasannya. Sungguh! Ini gagasan yang berbahaya tentang tuhan.
Semakin aku ingatkan, malah sudah berkali-kali, ia semakin lentur memainkan nalarnya. Seperti elang yang elok meliuk-liuk di tengah lubuk, menukik menyambar permukaan air dan mendapatkan seekor ikan di cakar yang menggelepar. Ia justru mengirim gambar boneka yang tertawa. Ah, dia tertawa ketika aku ingatkan agar hati-hati berpendapat tentang tuhan.
''Baca buku Ibnu Maskawih, tokoh kita ini mempertimbangkan kemanusiaan. Toleransi beragama dan pemahaman agama yang dalam membuat manusia akan tahu arti kehidupan. Dan, bila masih ada kekerasan atas nama agama, yang salah bukan agamanya, tapi cara orang yang memahaminya.''
''Saya sudah baca, tapi tak menemukan pendapat sepertimu. Aku mengenal pemikirannya yang arif.''
''Buka lagi Ar-Rumi, Ibn Arabi, Al-Jilli. Kau akan menemukannya. Agama mengajarkan kedamaian. Bukan perang suci dan permusuhan. Sobat, kita mesti menyelami persoalan lebih dalam, tidak sekadar tahu.''
''Mereka aku kenal sebagai sufi. Mereka mendalami tasawuf falsafi dan menemukan jalan kepada tuhan. Maaf, agamamu apa?'' Aku mulai ketus. Tapi ia mengirim gambar kuning, kepala boneka yang tersenyum. Aku tersenyum.
''Aku tak punya agama secara institusi. Aku punya spiritualitas dengan caraku sendiri. Seperti dikatakan Ali Syariati, agama sosial, agama institusi, agama individu, aku cenderung memilih yang terakhir. Di situ ada bahasa kemanusiaan dan harmonisasi. Bagiku, hakikat beragama lebih penting,'' balasnya. Aku setengah terperanjat.
''Aku setuju apa yang kau katakan. Tetapi agama untuk tatanan sosial juga diperlukan untuk menunjukkan kesalehan sosial. Sebab tuhan juga menyuruh manusia untuk hidup di dunia dengan baik. Saling mengenal, antara suku, kaum dan bangsa.'' Aku coba melayaninya.
''Sobat, diskusi kita makin menarik. Tampaknya kita harus bertatap muka. Bagaimana?''
Aku agak lambat menjawab. Buzz. Ia mengejutkanku. Tapi aku tak juga menjawabnya. Ragu dan malu.
''Bertemu empat mata di sebuah tempat. Bukan di dunia maya ini. Di situ kita bisa benar-benar saling tahu tentang bagaimana sebenarnya agama itu digagas,'' katanya lagi.
Aku pikir, memang chatting mengandung sesuatu yang tidak serius. Apalagi tentang hal yang kami pikirkan, tentu harus serius sekali. Bukan sesuatu yang harus dipermainkan.
''Bisa saja. Kalau kau mau.'' Jawabku setengah enggan,sembari menungguapa jawabannya. Menggantungkan persoalan dan kemauan.
''Tidak! Aku pikir kita harus bertemu di sebuah tempat yang nyaman. Di sanalah kita bisa lebih bebas untuk berpendapat dengan dasar dan dalil yang lebih masuk akal. Dan yang paling penting, sejauh mana keseriusan pendapat itu terpancar dari wajah kita. Apakah kita sekadar main-main atau iseng.''
''Lha. Di sini kita bisa pakai webcame. Jika tidak bisa sekarang, aku bisa beli peralatannya besok. Aku akan pasang alat tersebut. Teknologi mempermudah cara hidup.''
''Sekali lagi, tidak! Aku ingin engkau dan aku bertemu. Sambil berkenalan. Prancis, sebentar lagi musim libur. Aku akan berlibur ke sebuah tempat, jika kau tak keberatan, kita bertemu. Tidak engkau yang ke sini, tak juga aku yang ke sana. Tapi kita bertemu pada sebuah tempat.''
''Bagaimana mungkin aku bisa penuhi hasratmu. Sementara aku harus bekerja. Belum bisa mengambil cuti. Dan yang terpenting, aku tak punya uang untuk ke luar negeri.''
''Oke. Aku bisa mengabulkannya. Tiket pulang pergi, semua akomodasi selama di sana. Asal engkau mau. Usahakanlah cuti pada pimpinanmu. Bagaimana? Tak ada alasan yang harus dibuat-buat bukan?''
Aku terjebak dalam permainan sendiri. Kemauannya yang besar untuk mendiskusikan masalah agama dan ketuhanan telah menjebol pendirianku. Aku jawab sungguh-sungguh, perjanjian dan kesepakatan pun dibuat. Bulan depan kami bertemu.
bersambung..........