Oleh Bambang W Soeharto
Yudi Latif (2005) menulis, setiap perubahan sosial-politik di negeri ini, negara selalu menjanjikan akan mewujudkan tanggung jawab etisnya terhadap rakyat. Janji itu berupa kesejahteraan sosial.
Namun, setelah 63 tahun Indonesia merdeka, janji tersebut tampaknya masih jauh dari harapan. Buktinya, angka kemiskinan dan pengangguran di negeri kita masih sangat tinggi. Dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa, BPS melaporkan bahwa pada tahun 2006 kemiskinan meningkat menjadi 39,05 juta jiwa atau 17,75% dibanding tahun 2005 sebesar 35,10 juta jiwa atau 15,97%. Begitu pun jumlah pengangguran, yakni angka pada tahun 2005 sebesar 10,3% lalu naik pada tahun 2006 menjadi 10,8%. Pada tahun 2007 angka pengangguran terbuka berada di angka 12,6 juta jiwa.
Fenomena ini terjadi karena pemerintah belum sungguh-sungguh membuat dan menerapkan kebijakan ekonomi yang prorakyat. Salah satu cermin kebijakan itu antara lain Inpres No 6/2007, yang penulis kira sangat mengandung paradoks. Satu sisi memperlihatkan pemerataan karena keberpihakan pada UMKM, tapi di sisi lain diwujudkan untuk mempercepat pertumbuhan sebagai realisasi paradigma ekonomi klasik/neoklasik.
Mengapa lahir inpres dengan semangat mendua? Jawabannya jelas, karena arah pembangunan ekonomi pemerintah tidak fokus pada sektor pertanian dan pedesaan. Padahal, jumlah rakyat miskin berada paling banyak di pedesaan. Sensus 2006, jumlah warga miskin di pedesaan sebesar 24,8 juta jiwa dan sebagian besar bekerja di sektor pertanian.
Memang pemerintah telah menetapkan revitalisasi pertanian sebagai bagian dari triple track strategy. Sayang, konsepnya tidak jelas dan implementasinya tidak intensif-efektif karena minimnya koordinasi antar lintas sektor yang sampai ke daerah. Saat bersamaan, pemerintah juga tidak menghasilkan pola tata niaga perekonomian sehingga kurang memberikan peran yang maksimal pada koperasi dan BUMN.
Data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor pertanian menurun dari 4,1%/2004 menjadi 3,0%/2006. Pangsa PDB pertanian menurun dari 15.5%/2004 menjadi 13.0%/2006. Selanjutnya, produksi beras makin menurun. Tahun 2007 produksi gabah kering direncanakan hanya 53,1 juta ton atau turun 1,2 juta ton dibanding tahun 2006. Hal ini terbuktikan bahwa kinerja pertumbuhan pertanian kuartal I/2007 tercatat negatif sehingga menjadi bukti bahwa program revitalisasi pertanian tidak maksimal. Akibatnya, daya beli masyarakat miskin petani di pedesaan menjadi sangat rendah.
Sementara itu, harga kebutuhan pokok semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena terjadinya ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan yang mengakibatkan adanya kegagalan pasar market failure. Bukti kegagalan pasar adalah terjadinya kenaikan harga beras dan minyak goreng yang tidak dapat diselesaikan oleh pemerintah secara tepat dan cepat. Sebaliknya, pemerintah menanggulanginya secara reaktif dengan menyalahkan harga komoditas dunia. Hal ini lagi-lagi membuktikan tidak adanya pola tata niaga yang implementatif.
Koperasi dan BUMN juga tidak berperan maksimal dalam persoalan naiknya harga kebutuhan pokok tersebut. Selebihnya, peranan koperasi menjadi sangat kecil dan peran BUMN tidak maksimal dalam menangani cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Hal ini dapat dilihat dari penjualan Indosat, kebun kelapa sawit yang sangat besar ke PT Gutri Peconina Indonesia (GPI) dan penjualan tambak udang terbesar di dunia, Dipasena Citra Darmaja ke swasta dan perusahaan asing.
Memang, secara umum tercatat sampai pertengahan 2007, terjadi stabilitas ekonomi makro, tetapi berdampak pada ekonomi mikro/sektor riil. Pertumbuhan ekonomi juga meningkat, tetapi tidak diiringi perbaikan kualitas yang stabil sehingga layak disebut pertumbuhan dengan kualitas rendah. Pertumbuhan kualitas rendah ini karena baru bergerak di sektor finansial yang justru merefleksikan kelas tertentu dalam masyarakat sehingga memarginalisasi rakyat miskin yang tidak memiliki akses ekonomi. Akibatnya, belum ada kepastian bahwa perbaikan ekonomi makro akan berlangsung berkelanjutan dan aman. Hal ini salah satunya adalah akibat ekonomi hot money dari surat utang negara (SUN).
Dengan demikian, kebijakan yang kurang fokus tersebut belum menyentuh ketahanan ekonomi apalagi kedaulatan ekonomi. Padahal, kedaulatan ekonomi merupakan prasyarat bagi demokratisasi. Karena itu, mantan Menko Ekuin Prof Boediono (2007) dalam pidato pengukuhan guru besarnya di UGM mengatakan, "Tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu bagi keberlanjutan demokrasi." Karena itu, apalah artinya semua keberhasilan pemerintah sekarang jika tidak segera melengkapinya dengan mengatasi problem 'stagnasi ekonomi'. Stagnasi ini kemudian menjalar dan melahirkan berbagai problem lanjutan. Kita mencatat bahwa pembangunan nasional belum terlihat menghasilkan kualitas hidup manusia. Menurut laporan World Economic Forum, daya saing SDM kita berada pada urutan ke-50 dari 125 negara yang disurvei. Bandingkan dengan Singapura yang masuk 10 besar.
Lebih jauh kita bisa melihat kondisi dan prestasi Indonesia dalam beberapa hal menurut survei. Misalnya, menurut Heritage Foundation, Indeks Kebebasan Ekonomi: 110 dari 157. The Economist, Indeks Kualitas Hidup: 71 dari 111. Reporters Without Borders, Indeks Kebebasan Pers: 102 dari 167. TI, Indeks KKN: 130 dari 163. UNDP, Indeks Pembangunan SDM: 108 dari 177.
Beberapa fakta dari kondisi ekonomi di atas tentu saja menciptakan beberapa pertanyaan sekaligus kecemasan. Pertanyaan berkenaan dengan bagaimana nasib ekonomi (anak-cucu) kita kelak dan apakah globalisasi harus bermakna hancurnya ekonomi kerakyatan. Kecemasan berkenaan dengan bagaimana masa depan posisi negara kita dalam percaturan dunia yang semakin ketat. Pertanyaan dan kecemasan ini menjadi penting karena sejarah bangsa kita pernah mengalami kejayaan dengan berswasembada beras sekaligus menjadi stabilisator dan dinamisator utama di kawasan ASEAN.
Singkatnya, kondisi perekonomian nasional saat ini menjadi sangat mencemaskan sekaligus gagal mempertahankan prestasi ekonomi yang pernah kita capai pada masa lalu.
Dengan sebab-sebab seperti tersebut, kita makin jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan: memajukan kesejahteraan umum. Di samping itu, kedaulatan ekonomi juga tidak akan tercapai.
Karena itu, jika kita semua ingin menciptakan ketahanan dan kedaulatan ekonomi, jurus yang pertama adalah perubahan paradigma yang mengatur lebih fokus arah dan strategi pembangunan ekonomi yang dipastikan tidak 'menyeleweng' dari konstitusi kita. Selebihnya tinggal penempatan manusia sesuai dengan keahliannya.