Oleh : Muhsin Al-Jufri
Di pagi buta, saat Rasulullah SAW keluar rumah, beliau mendapati kotoran manusia di sekitar pintu rumahnya. Tanpa banyak reaksi apalagi kemarahan, beliau segera membersihkannya.
Keesokan harinya, ternyata peristiwa yang sama terulang kembali. Rasulullah SAW mengetahui siapa yang meletakkan kotoran tersebut, namun beliau hanya mendiamkannya. Penghinaan dan pelecehan ini berjalan terus menerus hingga beberapa hari.
Di suatu pagi, saat menyaksikan halaman rumahnya bersih, Rasulullah SAW justru heran. Mengapa pagi ini tidak ada ”kiriman”? Dan saat keesokan harinya tidak ada lagi, beliau mengkhawatirkan kondisi kesehatan si peletak kotoran yang masih tetangganya sendiri tersebut. Bahkan lebih dari itu, beliau memerlukan untuk mendatangi rumahnya.
Ketukan pintu Rasulullah SAW dibuka oleh seorang anak. Saat ditanya keberadaan sang ayah, benar juga dugaan Rasulullah SAW, bahwa ia menderita sakit.
Si bapak yang terkulai sakit di pembaringan terkejut dan takut dengan kedatangan Nabi SAW. Belum sempat berucap apapun, Rasulullah SAW telah berada di hadapannya.
”Beberapa hari terakhir aku tak mendapati apa yang biasanya kamu letakkan di depan pintu rumahku. Aku mengkhawatirkan kesehatanmu, dan ternyata benar kamu sakit,” ucap Rasulullah SAW.
Sambil menangis, si peletak kotoran memuji akhlak Rasulullah SAW dan saat itu juga ia membaca dua kalimat syahadat. Nasihat, seruan, ajakan yang selama ini beliau SAW sampaikan belum membuahkan hasil. Namun dengan akhlak yang mulia, ia tersadarkan dan menyatakan keislamannya.
Inilah salah satu metode dakwah yang dipraktikkan Rasulullah SAW. Dengan keluhuran akhlaknya, minimal telah menarik hati mereka yang masih berada di luar Islam. Dan dalam banyak kasus, simpati dan ketertarikan kaum kafir didahului dengan simpati dan ketertarikan mereka kepada keluhuran akhlak penyerunya, Muhammad SAW.
Muhammad SAW tampil sebagai sosok manusia yang mempraktikkan ajaran Islam secara utuh dan sempurna. Ketinggian, kebenaran dan keluhuran Islam terwujud dalam seluruh aspek kehidupannya.
Tegas, marah bahkan pertumpahan darah pernah beliau lakukan, namun semua itu ditempuh setelah ajakan secara ramah, damai dan kasih sayang menemui jalan buntu. Terlalu banyak bukti sejarah yang membeberkan mengenai semua itu. Dan tak sekalipun beliau mengedepankan kekerasan dalam berdakwah.
Namun sayangnya, umat akhir zaman, sangat jauh dalam mempraktikkan ajaran Islam. Karena itu juga, tak aneh bila ulama mengungkapkan, bahwa Islam terhijab dengan muslimin. Keindahan, kebenaran dan ketinggian ajaran Islam, tertutupi dengan ulah umat Islam sendiri.
Tak berlebihan rasanya bila dikatakan bahwa mayoritas umat Islam, hanya terlihat keislamannya di dalam mesjid. Sedang di luar mesjid, dari mulai bekerja hingga berumah tangga, jauh dari ajaran Islam.
Umat seolah lupa bahwa bila kita menerapkan Islam secara utuh, hal itu sama saja dakwah. Bahkan bisa jadi lebih efektif ketimbang dakwah dalam pengertian mengajak secara langsung. Para nabi yang diutus sebelum Nabi Muhammad SAW, tak mempunyai kewajiban untuk berdakwah kepada masyarakat luas. Namun bagi kita umat terakhir, setiap muslim menyandang tugas tersebut. Dan perbedaan inilah yang menjadikan kita dijuluki sebagai umat terbaik (QS 3:110).
Yang perlu digaris bawahi, dakwah (ajakan) yang disampaikan oleh seseorang, akan jauh lebih mengena ke sasaran, bila si pendakwah telah mendapat simpati dari objek sasarannya. Ketertarikan dan simpati inilah yang turut berperan besar dalam menentukan berhasil tidaknya dakwah.
Dan simpati serta ketertarikan seseorang, akan tumbuh bila si pendakwah lebih mengedepankan akhlak, keramahan dan cinta. Bukankah Rasulullah SAW bersabda bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak?
Bahkan lebih dari itu, dalam menerangkan mengenai penyebab diutusnya beliau SAW, Allah berfirman, ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam,” (QS 21: 107).