Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.



 
IndeksIndeks  PortalPortal  GalleryGallery  Latest imagesLatest images  PencarianPencarian  PendaftaranPendaftaran  LoginLogin  

 

 Paket Relaksasi BI Sarat Moral Hazard

Go down 
PengirimMessage
Admin
Admin



Jumlah posting : 278
Join date : 25.04.08

Paket Relaksasi BI Sarat Moral Hazard Empty
PostSubyek: Paket Relaksasi BI Sarat Moral Hazard   Paket Relaksasi BI Sarat Moral Hazard EmptySat Apr 26, 2008 11:39 am

Sabtu, 26 Apr 2008,
Paket Relaksasi BI Sarat Moral Hazard

Oleh Achmad Deni Daruri *
Sejak terpilihnya Boediono sebagai gubernur Bank Indonesia (BI), semakin terlihat betapa rapuhnya independensi BI. Independensi BI dibentuk akibat krisis ekonomi pada akhir 1990-an. Sebagai penangkal terjadinya krisis ekonomi pada masa depan, justru independensi BI kini dianggap sebagai target pemerintah untuk diberangus.

Akibatnya, segala kebijakan dan paket moneter maupun perbankan saat ini dapat dikatakan sudah tidak berdasar atas keputusan BI yang objektif dan independen. Contohnya, paket relaksasi BI yang keluar baru-baru ini.

BI mengatakan, beberapa alasan yang melatarbelakangi dikeluarkannya paket kebijakan tersebut adalah (i) mengatasi permasalahan yang dihadapi usaha kecil untuk mendapatkan pembiayaan bank, (ii) pendalaman pasar keuangan (financial deepening) dan mendorong perkembangan pasar modal, (iii) memperbaiki dan memperkuat struktur kelembagaan bank, dan (iv) meningkatkan manajemen risiko bank melalui implementasi Basel II yang didukung dengan ketersediaan industri pemeringkatan.

Namun, sungguh malang nasib bangsa ini karena BI menganggap bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bodoh sehingga BI tidak memberikan satu pun hasil simulasi dari segenap kebijakan baru ini terhadap stabilitas moneter yang menjadi tanggung jawabnya.

Misalnya, berapa persen inflasi dapat dikurangi dari paket kebijakan kali ini tidak dapat dijawab BI. Selain itu, perlu dijelaskan seberapa besar probabilitas krisis perbankan dapat dikurangi oleh kebijakan tersebut yang justru diabaikan BI. Di situlah kita melihat bahwa BI sudah keluar dari jalurnya sebagaimana yang diutarakan dalam undang-undang bank sentral, yaitu menjaga inflasi.

Dengan segala relaksasi itu dipastikan bahwa inflasi akan semakin membelit perekonomian Indonesia dan krisis perbankan semakin terbuka lebar. Model rational expectation Philip curve dan IS-LM memperlihatkan bahwa inflasi di Indonesia justru semakin sulit diantisipasi pada masa depan.

Aplikasi probit pada model tersebut justru meningkatkan probabilitas terjadinya resesi di Indonesia dan krisis perbankan meningkat 50 persen.

Artinya, BI harus menjelaskan secara transparan dengan perhitungannya dari paket kebijakan relaksasi itu yang terkesan berupaya meningkatkan money supply dalam rangka Pemilu 2009.

BI, tampaknya, melakukan tarik ulur kebijakan perbankan seperti yang terlihat dalam paket regulasi yang baru keluar. Namun, yang sebenarnya tengah terjadi adalah BI sedang melanggengkan korupsi kebijakan publik akibat conflict of interest di perekonomian Indonesia.

Tampaknya, BI memang merupakan korban moral hazard dari krisis ekonomi dan moneter pada 1990-an. Inti dari paket itu sebetulnya relaksasi kebijakan perbankan yang muncul akibat terjadinya krisis ekonomi pada 1990-an. Artinya, BI tidak pernah menganggap kebijakan BMPK merupakan kebijakan yang benar dan BI secara sadar tengah membawa perekonomian Indonesia menuju krisis ekonomi dan perbankan yang kedua.


Moral Hazard

Jelas bahwa BI mengidap moral hazard seperti yang diceritakan Kenneth Arrow dalam tulisannya yang terkenal, yaitu Essay in The Theory of Risk Bearing (1971). Keluarnya Paket tersebut di tengah kondisi krisis resesi ekonomi dunia dan Pemilu 2009 mengundang banyak pertanyaan negatif, apalagi ditambah terpilihnya Boediono yang juga Menko Perekonomian.

Lembaga multinasional seperti IMF yang biasanya beraliran neoklasik juga tidak pernah menyarankan BI untuk melakukan kebijakan yang berisiko meningkatkan risiko sistemik perbankan dan sangat bersifat prosiklis seperti itu. Analis asing pendukung Boediono juga menyarankan BI agar membeli obligasi pemerintah di pasar yang berarti negara mencetak uang seperti zaman Orde Lama, namun lebih parah lagi karena pemerintah justru tetap harus membayar bunganya.

Negara seperti Tiongkok justru melakukan kebijakan moneter yang "Hawkish" dan memompa permintaan domestik di dalam negeri. Hampir semua negara dengan surplus anggaran pemerintah meningkatkan pengeluaran pemerintah sebagai solusi menghadapi krisis kali ini.

Krisis ekonomi yang telah menghancurkan potensi perekonomian bangsa Indonesia, tampaknya, telah dilupakan BI. Bukan hanya batas BMPK yang diperlonggar tetapi juga memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk memasuki pasar obligasi dengan proses transparansi yang tak berjalan dengan baik merupakan kesalahan terbesar dari paket BI kali ini.

Jelas itu kesalahan pejabat BI yang takut dipenjara, seperti Burhanuddin Abdullah, jika tidak berani mengguyur masyarakat dengan tambahan uang beredar baru. Buktinya, perusahaan pemeringkat (rating agency) seperti Pefindo justru tidak mendapatkan aturan yang memadai dari paket kali ini.

Peraturan Bapepam yang mewajibkan perusahaan untuk diperingkat tidak akan banyak gunanya jika perusahaan peringkat seperti Pefindo tidak diatur secara transparan.

Perusahaan pemeringkat harus diatur seperti perusahaan publik dalam hal disclosure-nya (bahkan harus lebih ketat lagi) dan setiap perhitungan dan metodologi dari setiap hasil pemeringkatan harus dilampirkan dalam Website yang dapat diakses publik -bukan hanya data, tetapi juga cara dan proses penghitungan peringkat tersebut.

Jelas bahwa paket BI kali ini belum menyentuh hal krusial seperti itu. Lebih dari itu, para direksi lembaga pemeringkat juga harus melaporkan semua kekayaannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Mengingat, terjadinya krisis 1990-an di Asia dan juga krisis sub-prime kali ini disebabkan kinerja yang tidak becus dari lembaga rating tersebut.

Seharusnya BI juga berani mengikuti rekomendasi dari Institute Internasional of Finance dan negara G7 yang mengharuskan lembaga pemeringkat dan perbankan melaksanakan reformasi internal selama 100 hari ke depan, termasuk mengubah metodologi pemeringkatannya.

Seyogianya segala off-balance sheet juga harus disclose oleh lembaga yang melakukan pemeringkatan terhadap perusahaan-perusahaan yang memiliki off balance sheet.

Pefindo baru-baru ini meningkatkan peringkat PLN (Perusahaan Listrik Negara) karena dianggap pemerintah akan menanggung utang dari PLN. Sadarkah Pefindo bahwa kapasitas defisit APBN juga dibatasi UU?

Artinya, anggapan Pefindo bahwa pemerintah mampu menanggung utang PLN hanyalah di atas kertas sepanjang batas defisit APBN belum mencapai batas yang diperbolehkan UU. Sangat dimengerti bahwa Paket BI kali ini bukan hanya sumir, tetapi sangat membahayakan kepentingan publik karena jauh dari semangat transparansi.

Dirut Pefindo baru-baru ini saat menyambut paket BI mengatakan bahwa dengan obligasi, sistem pengawasan akan berjalan lebih baik. Sadarkah dia bahwa krisis sub-prime mortgage kali ini memperlihatkan pasar mudah sekali ditipu informasi semu yang dikeluarkan lembaga Rating seperti Pefindo?
*. Achmad Deni Daruri, president director Center for Banking Crisis
Kembali Ke Atas Go down
http://radar.newstarforum.com
 
Paket Relaksasi BI Sarat Moral Hazard
Kembali Ke Atas 
Halaman 1 dari 1

Permissions in this forum:Anda tidak dapat menjawab topik
 :: Halaman Depan-
Navigasi: