TAHUN depan, Indonesia melaksanakan pemilihan umum ketiga dalam era reformasi yang disanjung sebagai kelahiran kembali demokrasi. Reformasi dianggap mesias yang membebaskan negeri ini dari muslihat demokrasi semu selama tiga dasawarsa di bawah rezim Orde Baru.Bersamaan dengan kelahiran kembali demokrasi, negara ini sepakat melahirkan kembali sistem multipartai seperti yang dianut di awal kemerdekaan. Seakan-akan demokrasi tidak terpisahkan dari sistem multipartai.Maka, dalam Pemilu 1999, pemilu pertama di era reformasi, peserta pemilu membengkak menjadi 48 partai. Lalu susut menjadi 24 partai pada 2004. Tetapi untuk pemilu tahun depan jumlah peserta melonjak lagi menjadi 34 partai politik.Sejarah juga mencatat sistem multipartai yang dianut sejak 1955 menghasilkan pemerintahan yang jatuh bangun. Presiden Soekarno yang tidak tahan dengan ketidakstabilan mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Sejak itu tidak ada lagi pemilu di Indonesia sampai dengan 1971.Perjalanan sistem kepartaian Indonesia sejak merdeka sampai sekarang memperlihatkan pergolakan antara sistem multipartai dan sistem multipartai sederhana. Pergolakan itu sesungguhnya sebuah proses pencarian tentang demokrasi yang cocok untuk Indonesia yang bineka.Sejarah memperlihatkan sistem multipartai seperti pada 1955 tidak cocok bagi pengembangan demokrasi. Sejarah juga mencatat bahwa sistem tiga partai yang dijalankan selama tiga dasawarsa di bawah Pak Harto juga akhirnya dirontokkan anak negeri melalui reformasi.Bila demikian, sejarah sesungguhnya memberi kita sinyal bahwa demokrasi di Indonesia tidak bisa nyaman dengan dua ekstrem sistem kepartaian. Yaitu sistem multipartai (tanpa batas) dan sistem yang terlalu sedikit partai. Berarti demokrasi Indonesia sesungguhnya menginginkan jalan tengah dalam sistem kepartaian.Jalan tengah itulah yang sesuai dengan kodrat Indonesia yang beraneka ragam suku, agama, adat istiadat, dan daerah. Jalan tengah juga merupakan pilihan untuk mendukung sistem presidensial yang kuat.Salah satu kelambanan dalam pengambilan keputusan penyelenggaraan negara adalah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merupakan pemerintahan minoritas. Celakanya, koalisi yang dibangun dengan banyak partai ternyata tidak menghasilkan soliditas kokoh. Koalisi permanen, kalau itu bisa dicapai, hanya dimungkinkan bila keanggotaannya tidak terlalu banyak.Mengapa kita memerlukan pemerintahan yang kuat? Karena hanya dengan pemerintahan yang kuat kebijakan negara untuk memakmurkan rakyat bisa direalisasikan secara lebih cepat dan konsisten.Karena itu pemerintah dan DPR tidak boleh mundur untuk menciptakan desain sistem politik multipartai sederhana. Salah satu target yang bisa diukur dari desain ini adalah jumlah partai yang harus terus menurun dari pemilu ke pemilu.Peserta Pemilu 2009 yang meningkat menjadi 34 dari 24 partai pada Pemilu 2004 memperlihatkan pemerintah dan DPR tidak memiliki desain itu. Desain sesungguhnya ada, tetapi dilabrak pragmatisme partai dan kelompok.Lalu, berapakah jumlah partai politik yang cocok untuk demokrasi Indonesia? Multipartai sederhana yang cocok adalah maksimal tidak melampaui 10 partai, tetapi tidak kurang dari lima partai. Delapan partai agaknya ideal.(denmas)