Admin Admin
Jumlah posting : 278 Join date : 25.04.08
| Subyek: Justifikasi Politik di Balik Harga BBM Fri May 30, 2008 11:16 pm | |
| Oleh : Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Panorama kehidupan masyarakat makin suram setelah pemerintah mengumumkan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dengan bersandar para teori ekonomi-politik global yang otomatis berjiwa liberal, pemerintah meyakinkan masyarakat bahwa kenaikan harga BBM kali ini merupakan dampak langsung dari keadaan ekonomi dunia. Argumentasi seperti itu sering kali dipandang sebagai argumentasi yang logis dan benar, bahkan para ekonom liberal pun ramai-ramai melindungi pemerintah dengan bermacam justifikasi ilmiah. Seolah-olah tidak ada pilihan lain lagi bagi pemerintah selain turut menaikkan harga BBM. Saya kira, kalau memakai perspektif 'hati nurani', pemerintah saat ini tidak boleh menaikkan harga BBM hanya karena alasan perkembangan ekonomi global. Dengan alasan apa pun, pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM di tengah keadaan masyarakat miskin yang semakin menderita dengan beban hidup yang berat. Harga kebutuhan mendasar amatlah mahal, sedangkan pendapatan tidak bertambah atau peluang untuk mengubah nasib tidak tersedia. Persoalan perkembangan ekonomi global sudah terlihat sejak Agustus 2007. Nah, apa yang sudah dikerjakan pemerintah selama sembilan bulan terakhir ini? Pemerintah tidak bisa hanya meminta masyarakat harus bersabar, sedangkan pemerintah sendiri lamban dalam mencari jalan keluar. Pemerintah harus mampu mencarikan solusi agar harga BBM tidak naik saat ini. Menaikkan harga BBM hanya akan memperburuk kondisi ekonomi rakyat karena beban rakyat sudah berat dalam kehidupan sehari-hari akibat harga sembako naik, bahkan minyak tanah juga sulit dicari. Kita bisa mencari jalan keluar seperti meningkatkan produksi minyak dalam negeri. Kalau selama ini masih di bawah 1 juta barel per hari, pemerintah harus bisa mendorong BP Migas agar mampu memacu produksi minyak hingga 1 juta barel per hari. Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) optimistis angka produksi riil (lifting) minyak diperkirakan bisa melebihi target dalam APBN Perubahan 2008 yang ditetapkan sebesar 927 ribu barel per hari. Kita harus berani berbicara jujur kepada rakyat. Selama ini masyarakat selalu dibohongi dengan berbagai janji, namun kenyataannya mereka masih hidup susah. Maka kalau harga BBM kembali dinaikkan, orang yang masih bernurani tentu tak mampu membayangkan penderitaan yang bakal ditanggung rakyat. Lebih bijaksana kalau saat ini pemerintah mewujudkan kepastian penambahan produksi dari lapangan-lapangan seperti milik Conocophilips dan Blok Cepu. Tentu dengan jaminan adanya pengawasan yang ketat. Produksi minyak berjalan sesuai dengan target, tetapi karena pengawasan yang longgar, tidak sedikit minyak hilang di pasar gelap. Jujur saja, negara selama ini lebih dirugikan para pencuri minyak ini daripada oleh karena subsidi untuk masyarakat. Justru hal-hal penting macam itu yang harus segera diatasi pemerintah. Kalau produksi minyak meningkat dan pengawasannya juga ketat, otomatis persoalan krisis minyak bisa teratasi sehingga pemerintah tidak perlu menaikkan harga BBM. Seorang pengamat ekonomi-politik berkomentar, kenaikan harga BBM kali ini masih wajar kalau di bawah 30%. Ia meminta pemerintah belajar dari pengalaman pada 2005 ketika kenaikan hingga 100% begitu membebani rakyat. Ia bahkan mengusulkan kenaikan hanya berkisar di 10%. Apakah kenaikan 10%, 30%, 100% yang dipersoalkan? Bukankah kenaikan 10% sudah mengubah keseimbangan ekonomi masyarakat karena pada saat yang sama ia tidak memperoleh tambahan penghasilan sebesar persentase kenaikan harga kebutuhan pokok? Belum lagi kalau kita mencermati betul di lapangan, kenaikan harga kebutuhan pokok sering kali mendahului kenaikan harga BBM. Sehubungan dengan rencana pemerintah membantu rakyat miskin melalui bantuan langsung tunai (BLT), pemerintah bermaksud menolong populasi yang miskin, tetapi dalam kenyataannya orang miskin bertambah. Persoalan seputar eksekusi kebijakan BLT ini begitu kompleks mulai dari kecerobohan petugas dalam mendata orang miskin, bantuan yang salah sasaran, hingga masalah 'ketergantungan semu' masyarakat pada pemerintah. Mungkin rakyat miskin akan senang ketika mendapatkan BLT, tetapi kalau dibandingkan dengan besarnya kerugian yang harus mereka tanggung pada saat mereka harus membayar biaya rumah sakit, sekolah, dan harga beras, minyak goreng, serta minyak tanah, terbukti BLT tidak ada nilainya. Lantas, kompensasi seperti inikah yang disebut 'adil' oleh pemerintah? Akankah pemerintah membiarkan masyarakat bertambah miskin dengan kembali menaikkan harga BBM? Wallahualam! | |
|