Oleh Fakhrunnas MA Jabbar
AKU terkesima tiba-tiba saat menatap bulan agak redup bergelantungan di atas Orchard Road. Bulan itu bernyanyi-nyanyi di kejauhan. Malam belum merangkak jauh. Angin laut terasa sejuk mengusap wajahku. Tapi tubuhku yang dibalut jaket tipis terasa kian hangat. Aku bagai menyulam mimpi kala Aras memelukku. Sungguh aku bagai tak berpijak di bumi. Sementara lalu-lalang ratusan pejalan kaki di depanku nyaris tak kuhirau lagi. Hanya kudengar hening di antara gemerisik dedaunan rindang yang berjajar di sepanjang jalan raya Kota Singapura.
Singapura, sungguh aku sedang tidak bermimpi malam ini! Jeritku dalam hati ketika menatap lelaki yang kini mendekapku. Seketika pula kusaksikan rembulan yang redup berubah cerah. Suara nyanyiannya kian deras menggetarkan jantungku. Burai cahayanya di sela-sela awan bagai menyapaku. ''Reguklah kemesraanmu malam ini, Tin!'' bisik bulan itu lembut menyelinap ke dalam jantungku.
Kucubit lengan kiriku agak sembunyi-sembunyi. Itu kulakukan sekadar memastikan aku bukan sedang mengkhayal. Saat kucoba menatap sekeliling dengan pikiran yang jernih, aku jadi begitu yakin bahwa aku sedang menikmati kebahagiaan yang sudah belasan tahun silam sirna. Terus terang, aku pernah memimpikan suasana seperti ini bersama mendiang suamiku saat berada dalam bahtera rumah-tangga selama lebih 10 tahun. Tapi, impian itu selalu berakhir kecewa karena suamiku lebih mementingkan bisnisnya dibanding kehangatan kasih. Pernah beberapa kali aku singgah di Singapura dan menyusuri Orchard Road sendirian di sela-sela waktu istirahatku terbang sebagai pramugari untuk 2-3 hari. Selalu saja, perenunganku dalam kesendirian itu berakhir kecewa.
Sungguh, dulu, semasa gadisku di sebuah kota kecil di sempadan Selat Melaka, aku punya impian untuk menikmati suasana seperti ini di jantung Negeri Tumasik itu. Aku pernah begitu terbius oleh kisah percintaan Sir Djoon dan Si Nona yang termaktub di dalam cerita Mencari Pencuri Anak Perawan yang ditulis pujangga kesukaanku, Soeman Hs. Bukan apa-apa, impian itu begitu kukuh bersemayam dalam pikiranku karena Emak pernah bercerita bahwa Si Nona itu sesungguhnya masih berkait-zuriat dengan nenekku. Konon, kisah kasih nenekku itulah yang mengilhami pujangga yang tunak menghirup adat-resam Melayu sehingga menulis roman terkenal itu. Meski, kutahu, Soeman sendiri berdarah Tapanuli. Begitulah, pengarang yang masyhur ini menabalkan ungkapan: di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung.
Malam ini, aku benar-benar merasa jadi Si Nona bersama seorang lelaki yang menyayangiku, layaknya seorang Sir Djoon. Persis seperti berlaku dalam kisah roman yang berlangsung di awal tahun 1900-an itu. Kami masih saja saling menghangatkan tubuh sambil meremas jemari masing-masing penuh kelembutan. Kucoba menatap Aras, anak jati Melayu yang memahami bagaimana membahagiakan seorang perempuan seperti aku. Aku benar-benar merasa berbahagia tiada tara di ujung usia kami yang separuh baya.
''Sudah belasan tahun kunantikan saat-saat seperti ini. Bagiku, kau adalah segalanya. Aku bagaikan terlahir kembali setelah tenggelam dalam usia. Kau begitu bijak memperlakukanku sebagai seorang kekasih di sisa usia kita,'' ucapku terbata-bata.
''Ya, aku merasakan getaran itu bagai senar gitar berdenting-denting di hatiku. Aku juga bagai budak-belia semasa kita bersekolah dulu. Aku pernah jatuh cinta padamu tapi tak berkelanjutan. Kinilah saatnya aku menebusnya, Tin,'' sahut Aras.
''Cinta pertama selalu abadi,'' lanjut lelaki itu.
Mulutku terkunci saat mengenang masa-masa silam yang sudah tertinggal jauh. Aras memang pernah melabuhkan cinta-kasihnya di pelabuhan jiwaku. Sepucuk surat merah jambu memang masih jadi saksi atas peristiwa yang berlangsung di usia belia kami. Namun, aku tak pernah berpikir soal percintaan meski kutahu banyak lelaki yang berusaha merebut simpatiku. Aku selalu menganggap semua simpati itu bagai angin lalu saja.
***
Pertemuanku kembali dengan Aras beberapa tahun lalu bagaikan sebuah perjalanan takdir belaka. Bagai ada tangan gaib yang menggiring pertautan batin kami. Saat kami bertemu setelah cukup lama saling melupakan, justru aku baru saja kehilangan suamiku yang menitipkan dua putri kecil, Sofi dan Nayla. Begitu pula Aras yang datang dengan segala kehampaan hidupnya dan berada di ambang perceraian. Padahal, ia sudah memiliki lima anak yang sudah belia pula.
Kisah-kasih kami terasa unik dan lucu. Kami bagaikan menyelami kebahagiaan baru di samudera kasih yang tak bertepi. Bagaikan dua ekor belibis yang mengibas-kibaskan kepaknya saat disirami embun malam yang dingin. Pertautan hati kami saling menyempurnakan. Di masa silam kami masing-masing selalu saja ternganga rasa kecewa karena kekurangan-kekurangan yang ada pada pasangan kami.
''Kita memiliki masa lalu yang tidak sempurna. Kinilah saatnya kita sempurnakan, Ras,'' ucapku sambil merasakan kehangatan bibir Aras. Ah, budak Melayu yang satu ini begitu pandai menggetarkan jaring-jaring bahagiaku yang sudah lama bungkam.
Hampir separo malam kami lewati bersama di penggalan Orchard Road. Cahaya bulan kian benderang. Memang, aku menyaksikan bulan bundar yang sedang merajut purnama itu bagaikan jatuh dan tersangkut di reranting pohon besar di sekeliling kami. Cahaya gemerlapan itu menyelinap ke dalam jantung kami. Oh, de silentio!
Hari-hari bahagiaku bersama Aras bagaikan arus Selat Melaka yang mengalir deras di bawah permukaan. Perjalanan kasih yang telah mengantarkan kami di negeri pulau ini memang tak begitu terencana. Suatu ketika, aku bercerita padanya soal impian masa laluku yang tak pernah berkesampaian. Apalagi, kampung halaman kami yang berseberangan dengan negeri jiran itu selalu menyergam tiba-tiba semasa aku masih kecil dulu. Kehebatan Singapura sudah jadi buah-bibir orang-orang kampungku yang ber-semokel ke negeri itu. Kemelimpahan dan kemewahaan negeri jiran itu sudah amat dikenal oleh saudara-mara kami. Buktinya, Datukku dulu, konon, meraih kelebihan harta-benda lewat perdagangan lintas-batas yang penuh risiko itu karena selalu diamuk gelombang dan badai Selat Melaka yang ganas di masa itu. Apalagi, tongkang kayu yang berukuran kecil dengan menggunakan mesin bertenaga apa adanya.
Lebih dari itu, Datukku menemukan jodohnya, anak angkat China yang ''dibeli'' mertuanya dulu di Negeri Singa itu. Kutahu, cukup banyak orang-orang kampungku yang melakukan hal sama sehingga keturunan yang bekembang merupakan perpaduan Melayu-China yang berkulit kuning dan mata agak sipit namun dengan semangat wira Hang Tuah dan Hang Jebat. Konon, kulit kuning langsatku dan mata yang agak sipit sebagai bukti asal-usul keturunanku seperti itu.
Kini, aku bertemu Aras setelah kisah perkawinanku selama belasan tahun dengan seorang lelaki terkubur bersama jasadnya. Kini aku benar-benar sedang kembali ke ''rumah'' Melayuku bagaikan ''pinang pulang ke tampuk''. Saat berada di negeri Singa mengisi masa liburan percintaan kami, aku merasa bagaikan berada dalam pelukan seorang sang Nila Utama yang gagah. Aku bagaikan sedang mereguk kembali kejayaan tahta Melayu di negeri yang dipenuhi orang-orang berbilang asal dari seluruh dunia dengan mayoritas keturunan China.
Semakin Aras dekat dalam kehidupanku, semakin kentara betapa kehadiran lelaki itu amat bermakna. Aku merasa hari-hari kosongku selama bertahun-tahun telah terisi kembali. Aras benar-benar segalanya bagiku. Tidak hanya aku, tapi juga bagi Sofi dan Nayla yang beranjak besar. Aras pun memperlihatkan kesungguhannya untuk merajut masa depan bersamaku. Itulah anugerah terbesar yang kurasakan di penggal akhir usiaku.
***
Sepulang menghirup udara malam dan menikmati burai cahaya rembulan di Orchard Road pada malam ketiga itu, aku menyaksikan wajah Aras begitu berbinar-binar. Tak ada beban pikiran apa-apa di wajahnya. Padahal, kutahu, lelaki berperawakan tenang itu bukannya tidak ada persoalan. Selain urusan keluarganya yang sudah di ambang kehancuran, ia juga bertarung dengan urusan kantor yang tak habis-habisnya. Situasi serupa itulah yang menantangku untuk mencurahkan segalanya buat Aras. Aku tak ingin ia hancur. Dan, kini, hidupku hanya buat Aras dan kedua malaikat kecilku.
Tiap malam kusaksikan rembulan di Orchard Road itu jatuh dan menebar cahaya di sekelilingku. Nyanyiannya mendayu-dayu bagai mendoakan kebahagiaan kami untuk selamanya. Suasana ini selalu membangkitkan kembali semangat hidup kami berdua.
''Tin, jalan yang terbentang di depan kita masih panjang. Masih kuatkah kau melangkah bersamaku?'' tanya Aras tiba-tiba mengejutkan lamunanku.
Aku agak terhenyak merenung kalimat bersayap itu. Kutatap mata Aras yang agak lembab karena menahan pilu hatinya mengenang prahara hidup yang sedang menimpanya. Bola mata yang sayu itu memang selalu jadi tumpuan perhatianku bila bertemu Aras.
''Jangan pernah tanyakan itu lagi, Ras. Tak ada kata letih bagi orang yang sudah memulai sebuah perjalanan. Hidup hanya tersedia bagi orang yang suka berjuang. Dan aku sudah memulainya...,'' sahutku agak hati-hati.
Aras mengusap wajah dan rambutku. Mesra sekali. Kemudian ia mendekapkan pipinya ke telingaku. Suasana seperti inilah yang sering hinggap di ranting-ranting kenanganku bila kami terpisah jauh untuk beberapa lama.
Sekumpulan burung menaburi langit Singapura petang itu. Kepak mereka melambai-lambai saat beriringan. Aku jadi teringat ketika Aras menceritakan bagaimana burung yang terbang kian kemari juga butuh tempat bersinggah di dalam hidupnya. Percintaan kami pun laksana burung-burung itu. Terus saja menemukan tempat istirah.
''Berapa lama lagi perjalanan panjang ini kita lewati, Ras?'' tanyaku sambil menyandar di bahu lelaki itu. Aras tampak bungkam. Lama ia menekur. Aku tahu pikirannya sedang melayang-layang mengenang persoalan yang menyebatnya dari waktu ke waktu selama belasan tahun di masa silamnya.
Burung-burung yang sejak tadi berkeliaran dengan suara cicit yang bersahutan, kini tiba-tiba senyap. Belasan burung yang berbaur sesamanya sempat hinggap di ranting-ranting pohon besar di sepanjang Orchard Road itu. Aku menatap sepasang burung yang saling mendekap dari kejauhan. Sungguh, aku ingin seperti burung itu. Menemukan tempat bernaung.
***
''Tin, kaulah istriku kini...''
Bisikan Aras itu kudengar dua tahun kemudian. Bulan selalu dan selalu saja jatuh di Orchard Road di malam-malam yang diam. Dan, burung-burung sore masih saja berkeliaran menembus awan putih kebiruan. Langit Singapura pun merona. (t.a)