Oleh Siswanto
PETIKAN ”nasihat” Pak Joko terhadap Nadia, anaknya, dalam film Otomatis Romantis (kemudian disebut dengan OR) itu menunjukkan potongan ’realitas’. Bahwa realitas budaya --pemaksaan nikah-- seperti itu disinyalir masih banyak dipraktikkan dalam keluarga di masyarakat kita.
Film OR, yang dipersembahkan oleh Insan Sinema Indonesia (ISI), film Guntur Soeharjanto (2008) menampilkan penokohan perempuan yang ideal, yaitu Nadia. Dia sebagai pimpinan redaksi di sebuah majalah perempuan Wanita Kini. Keberadaannya di kantor redaksi sangat kuat dan disegani staf-stafnya karena kecerdasan dan ketegasannya.
Namun, yang menjadi persoalan adalah keluarganya. Mereka memaksa untuk segera menikah karena dinilai sudah terlalu tua (umur 29 tahun). Pemaksaan itu tidak hanya dilakukan oleh ayahnya, namun ibunya (Ibu Dewi) yang notabene perempuan pun ikut membumbui.
Memang, seiring paksaan yang bertubi-tubi dilancarkan keluarga, akhirnya Nadia bertemu seorang kekasih (Bambang, staf administrasinya). Dan alur film dengan setting kultur (pemaksaan nikah) seperti ini dalam budaya kita masih menjadi momok bagi perempuan (karier). Bahkan juga bagi lelaki. Hal ini menunjukkan paradoks (sisi berlawanan) dalam film ini patut dicermati.
Paradoks (dalam sisi positif) film tersebut ditunjukkan Nadia. Betapa dia mampu berlari-lari bebas dengan segala potensi yang ada. Namun, di sisi lain (sisi negatif) menunjukkan potret masyarakat yang masih sakit: susah menghilangkan konstruksi budaya yang menstigmakan perempuan sebagai orang kedua dan tidak perlu kerja keras.
Misalnya dapat disimak pada petikan nasihat Pak Joko dan istrinya terhadap Nadia selanjutnya: ’’...kalau anakmu (Nadia) ini sudah menikah, kan ndak perlu ngantor-ngantor lagi, ya toh Nduk?!’’
Menarik
Film ini menarik karena berhasil memetakan perempuan yang sebenarnya ingin berkiprah, namun masih saja terbentur dengan budaya (’’kawin jangan tua’’) yang masih dibawa keluarga. Ini sekaligus menunjukkan, perempuan seharusnya tidak dipaksa-paksa dalam pernikahan. Karena dengan sendirinya mereka akan memenuhi kodrat alamiah tersebut. Pertemuan Nadia dengan Bambang misalnya, sebagai bukti instinct alamiah akan berjalan sendiri. Yang menarik lagi, sutradara berhasil menampilkan alur pas dengan judulnya. Dia mampu meng
giring cerita dengan menem
patkan inti OR persis di akhir adegan. Yang semula Nadia kaku untuk merangkai kata-kata yang romantis, tidak seperti tulisan di majalahnya. Namun, di akhir cerita, Nadia mampu mengungkapkan perasaan cintanya terhadap Bambang dengan bahasa sangat romantis khas wanita karier:
’’...Kamu masih mau menulis buat saya?” tanya Nadia. ”Mau, Bu, mau-mau, aku mau,’’ jawab Bambang terbata-bata. ’’Tapi saya mau coba satu artikel dulu,’’ kata Nadia. ’’Artikel apa toh, Bu,’’ tanya Bambang. ’’Ehm..artikel tips dan advise untuk pria. Judulnya, Berhubungan dengan Atasan, Sah atau Tidak? E..saya tunggu artikelnya besok, kalau cocok kita lanjut,’’ jelas Nadia. ’’Nggih, Bu. Alhamdulillah!’’ jerit Bambang.
Kata Kasar
Namun demikian, film bergenre komedi-romantis ini agak kurang memerhatikan etika tentang kebaikan. Ditunjukkan ketika Nabila (kakak perempuan Nadia) mengucapkan kata kasar: ”Asu!” (Anjing) kepada suaminya (Dave). Dan kata-kata ini juga dikatakan sebelumnya oleh Bambang, Dave, dan Trisno (kakaknya Bambang). Kata-kata banal seperti ìAsu” jika diucapkan baik laki-laki maupun perempuan tentu bertentangan dengan etika di masyarakat kita dan jarang ditemukan dalam film Indonesia. Ketika tema-tema film seperti ini diangkat, emosi rata-rata penonton pasti akan langsung masuk. Kondisi riil masyarakat (sakit) kita disinyalir masih banyak seperti alur film OR ini.Dan contoh jelek biasanya malah menjadi trend atau yang diingat dan ditiru penonton. Stigma (noda) perempuan sebagai orang kedua harus (selalu) dihapus. Karena, perempuan adalah mahkluk yang sama secara derajat dan hak dalam hidup. Selaiknya, perempuan dan laki-laki mempunyai hasrat untuk maju bersama dan saling memberi kesempatan di semua lingkup kehidupan. Memang, realitas budaya yang terjadi di masyarakat kita adalah ketimpangan peran yang kentara di antara lelaki dan perempuan, baik di ranah keluarga atau di publik. Bahkan, banyak kaum lelaki yang menganggap remeh dan meremehkan perempuan. Hal itu terjadi sampai lingkup keluarga yang ditunjukkan ayah Nadia dalam adegan film OR misalnya. Karenanya, ”pengembangan budaya” kesetaraan gender dalam film OR, yang menampilkan kiprah perempuan (Nadia) yang cerdas, tegas, dan setara dengan laki-laki, itu selayaknya mendapat apresiasi yang positif. Yang harus lebih diperhatikan, kontrol intelektual atas film. (Siswanto, mahasiswa Magister IAIN Walisongo dan anggota komunitas film ”GambarHidup”)