Hal menarik dalam pendaftaran caleg yang diajukan parpol ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pemilu 2009, menurut saya, ialah keikutsertaan tokoh intelektual (muda) yang dengan terang-terangan menceburkan diri ke dalam politik praktis.
Setidaknya, ada beberapa nama yang saya kenal lewat pertemuan langsung dengan mereka maupun lewat pandangan-pandangan kritisnya yang dikemukakan dalam betuk tulisan di media massa. Saya mau menyebut dan mengemukakan dua orang saja; Zuhairi, intelektual muda NU, dan Indra J. Piliang, seorang peneliti dan analis politik di Center for Strategic and International Strategic (CSIS).
Mas Zuhairi -begitu saya biasa memanggil- didapuk PDIP dengan diberi tiket nomor urut dua dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur, Madura, yang meliputi empat kabupaten: Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Maklum, Mas Zuhairi sebelum didaulat sebagai caleg partai berlambang banteng itu telah terlibat intens di sayap Islam PDIP, Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi).Sedangkan Indra J. Piliang diusung Partai Golkar dari dapil Sumatera Utara II. Dibandingkan dengan Zuhairi, Indra memiliki sedikit perbedaan sekaligus persamaan. Indra, menurut Alfan Alfian, terkesan mendadak masuk ke parpol.
Kesamaannya, mereka berdua sama-sama dikenal sebagai penulis dan tokoh intelektual muda yang pandangan-pandangannya sangat kritis terhadap segala realitas, fenomena sosial, dan apalagi pemerintahan.
Dapatkah suara dan pandangan kritis itu dibawa ke birokrasi pemerintahan bila memang nanti ternyata mereka menjadi anggota dewan?
Kekhawatiran
Pertanyaan itu layak dan penting diajukan untuk menghindari yang oleh Julien Benda disebut pengkhianatan kaum intelektual. Kekhawatiran ini saya kira tidaklah berlebihan, mengingat kaum intelektual sejatinya steril dari nuansa politik praktis.
Namun, di sisi lain, orang yang tidak setuju dengan pendapat itu boleh saja beralasan bahwa kaum intelektual, di samping memiliki hak yang sama sebagai warga negara untuk menjadi anggota dewan, keterlibatan mereka di parlemen sangat dibutuhkan untuk mengubah keadaan perpolitikan bangsa yang carut-marut.
Problem kaum intelektual yang bermain politik praktis sama halnya dengan memperdebatkan sejumlah kalangan atau ‘’kelompok” lain yang melakukan hal sama. Misalnya, ketokohan kiai yang sejatinya konsisten sebagai ‘’guru moral” anak bangsa justru bisa dipandang sinis bila ikut cawe-cawe ke politik praktis. Apalagi, ada oknum kiai yang terbukti melakukan tindak korupsi. Karena itu, tak heran bila kemudian Endang Turmudi (2003) mengklasifikasi kiai menjadi empat tipologi, yaitu kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik, dan kiai panggung.
Begitu pula dengan artis. Aspek pengalaman dan pengetahuan si artis selalu menjadi sasaran empuk untuk digugat dan dipertanyakan oleh mereka yang tidak setuju bila artis terjun ke dunia politik. Lalu, bagaimana kaum intelektual? Dengan membaca sejumlah pandangan teoretik mereka yang berserak di media massa, tentu tak ada yang menyangkal soal kapabilitas mereka.
Tetapi jangan lupa, mereka juga manusia biasa. Siapkah mereka berkata ‘’tidak” ketika disuguhi satu koper uang, seperti yang terpotret jelas pada kasus-kasus korupsi yang menjerat sejumlah petinggi negara? Kaum intelektual, dengan demikian, dapat dibagi pula ke dalam dua tipologi.
Pertama, intelektual murni, yaitu mereka yang meniti jalur akademik-ilmiah secara konsisten. Kedua, intelektual plus politisi, yakni seorang intelektual yang menjalankan double standard, akademisi dan politisi. Klasifikasi ini saya kira bisa diberlakukan pada tokoh-tokoh intelektual seperti Zuhairi dan Indra. Tengoklah dua atau tiga tahun ke depan, boleh jadi, keduanya lebih dikenal sebagai politisi, bukan lagi sebagai intelektual.
Optimistis?
Jadi, apa yang saya paparkan di atas tidak bermaksud mencederai niat baik Zuhairi dan Indra terjun ke politik praktis. Sebaliknya, saya berharap anggapan dan kekhawatiran-kekhawatiran tersebut tidak terbukti kebenarannya. Saya tetap menaruh optimistis terhadap kehadiaran Zuhairi dan Indra di dunia politik praktis untuk mengubah keadaan -yang dalam bahasa agama disebut min ad-dhulumat ila an-nur (dari kegelapan menuju pencerahan hidup).
Penulis adalah , peneliti pada Civil Society Institute Yogyakarta