SEBUAH mobil open kap berhenti mendadak di rumah Mbah Togog, seorang tokoh spiritual. Rem mobil itu menjerit-jerit serasa mengiris aspal. Beberapa murid si Mbah tampak memasukkan sebentuk tubuh gemuk ke ruang pasien. Di ruang tunggu, tampak wajah cemas Gareng dan Petruk. Mereka bergantian menengok ke dalam.
Tampak minyak upet wangi dibakar. Asapnya didekatkan di hidung Semar yang nggletak di ruang pasien. Tanpa sebab, Semar pingsan dan membuat geger orang yang sedang tirakatan hari kemerdekaan.
''Mbah, Mbah. Why my father kok sakit?'' tanya Gareng saat Mbah Togog melintas. Punakawan itu hanya angkat bahu sambil memeluk Gareng, ponakannya itu. Hati Togog dipenuhi tatap mata kosong anak-anak semar. Mereka seperti anak burung yang kehilangan induknya.
''Gini, Reng. Moga wirid Kidung Asih bentar lagi bisa nglacak apa yang sebenarnya terjadi pada bapake koen,'' ujar Togog, punakawan berbibir ala Mick Jagger tersebut.
Satu jam berlalu, ritual yang diadakan mulai menampakkan hasil. Urat kuncung Semar bergetar. Mbah Togog melohat sesuatu yang kecil bergerak dari kuncung semar yang pelan-pelan rontok. Lalu, munculah Bambang Ismaya, sejatine Semar.
Togog lalu beraksi. Dia keluarkan sabuk Raga Sukmat yang terbalut energi. Dia lantas mengubah diri menjadi Bambang Tejamantri untuk segera menemui Ismaya.
''Ismaya, kenapa kamu hancurkan kuncungmu?'' kata Tejamantri. Tapi, Ismaya hanya memberi jawaban tatap mata sinis. ''Aku sudah jenuh dianggap jadi sang pamomong,'' ujar Ismaya. Dia jelaskan bahwa dia mau bebas merdeka.
Mendengar itu, Tejamantri segera berubah kembali menjadi Togog. Dia lalu berteriak. ''Reng, Gareng, gawat!! Cepat cari manusia paling sedih hidupnya. Biar Ismaya tersentuh hatinya,'' seru Togog. Gareng lalu melacak kisah sedih paling mengharu biru di seluruh pelosok negeri.
Syahdan, seorang perempuan tua bernama Budhe Kunthi hidup telantar di panti jompo. Dulu dia didik anak-anaknya jadi orang hebat. Namun, wanita tua itu justru dimasukkan di panti jompo saat renta. Gareng segera membopong Budhe Kunthi ke hadapan Ismaya.
Tatapan Ismaya masih dingin. Dia coba untuk tersenyum. Namun, itu justru menunjukkan niatnya yang kian mantap untuk pensiun sebagai pamomong. ''Reng, aku juga paling kalian lempar ke panti jompo kalau sudah tidak punya pengaruh apa-apa lagi,'' bisik Ismaya.
Gareng langsung nangis nggerung-nggerung. Semar tak peduli. Seragam semar dia berikan sebagai kenangan buat Gareng. Ismaya pun lenggang kangkung melanglang jagad, meninggalkan dunia wayang yang penuh kemunafikan.
Mbah Togog tak tinggal diam. Ia perintahkan Petruk untuk menghadang Semar. Sebagai keturunan raja jin, Petruk banyak akal semlikut. Si hidung panjang itu lantas berpikir, apa gerangan yang bisa membuat Semar kacau hatinya.
Yes, dia nemu akal. Dia berubah jadi Rahwana. Petruk pun menuju tempat persewaan kostum wayang wong. Dia pasang kumis ketel palsu, sarung kumel dia ganti blue jeans memamerkan kaki panjang, dia pasang wig rewog-rewog, dan membeli boneka yang diambil kepalanya agar seperti sepuluh kepala Rahwana. Petruk pun sampai takut sendiri saat berkaca.
Semar agak minder bertemu Rahwana di sebuah pertunjukan wayang kulit. Sebab, si Dasamuka itu adalah orang paling jahat di dunia. Semar pun sembunyi di sela-sela tukang tabuh gamelan. Namun, Rahwana melihatnya dan tertawa terbahak. ''Semar, aku mau jual seluruh negara wayang ke negeri asing. Dan aku akan umumkan bahwa setap wayang wajib korupsi,'' kata Rahwana gadungan itu.
Rahwana terus mengejek. Dia sesumbar, mau bunuh seluruh wayang yang berkarakter baik. Semar hanya menanggapi dingin. Dia persilakan Rahwana melakukan seluruh kehendaknya. ''Sorry, Rah. Aku bukan pamomong lagi,'' jawab Semar cuek. Rahwana agak putus asa. Mendadak, dia ambil wayang Kumbakarna yang dibungkus kain putih agak kemerahan. ''Nah, ini dia adikku Kumbakarna yang dianggap satria dengan nasionalisme tinggi. Akan aku bakar dia,'' seru Rahwana. Kain merah-putih dia mainkan sesukanya. Kain itu dimasukkan minyak tanah hendak dibakar.
Tubuh Semar mendadak demam. Diawali rintihan, perut Semar lama kelamaan membesar naik turun tak teratur. Tiba-tiba, mak wuett, tubuh Semar berubah menjadi raksasa dan berteriak geram. ''Jangan kau nodai kain merah putih pelindung si Kumbokarno,'' katanya dengan suara menggelegar.
Tangan besar Semar mencoba meraih Rahwana gadungan. Wuuts, tangannya hanya menangkap angin. Petruk yang sedang menyamar itu miris. Dia berusaha lari, nubruk bakul rokok. Pertunjukan wayang sontak bubar. Penonton berlarian menyelamatkan diri, mengira ada kingkong mengamuk.
Wuus, dari belakang tangan semar menjambak wig Rahwana yang langsung terlepas. Sebentuk kuncir muncul. ''Mo, Romo, Daddy, ini aku Petruk, anakmu!'' seru Petruk.
Namun, Semar raksasa sudah kalap. Dia tendang Petruk untuk bal-balan. Petruk rasanya mau pingsan. Saat Semar mau puntir kepala Petruk, di ujung jalan serombongan anak-anak TK yang sedang karnawal lewat. Berbaris rapi dan memakai drumband, mereka bernyanyi, Sekali meldeka tetap meldeka.
Suara-suara cedal itu terasa sedang bersenda-gurau menikmati 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia. Semar luluh. Kemarahannya lenyap. Dia tinggalkan Petruk dan berbaris bersama anak-anak kecil itu.
Meski ikut bernyanyi, hati Semar menangis. Kelak, anak ini hidup di zaman seperti apa? Di zamanku saja, manusia sudah mengerikan kelakuannya. Semar ikut nabuh drumband. Dia berjanji mau jadi pamomong, tapi untuk generasi yang masih bersih. Ya, aku mau merdeka momong bibit yang baru tumbuh daripada pohon yang kukuh tapi baunya busuk. (*)