Presiden Yudhoyono Menyerah?
Ditulis oleh : Anni Iwasaki, Presiden Pusat Studi Jepang untuk Kemajuan Indonesia (Pusjuki)
Dalam menghadapi kelangkaan kebutuhan hidup dan harga-harga yang tidak terkendali, beberapa waktu lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Yudhoyono), diberitakan akan menulis surat kepada Sekjen PBB agar lembaga dunia itu mengantisipasi kenaikan harga minyak dan pangan di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia.
Pengibaran bendera putih Presiden berupa surat kepada Sekjen PBB sekaligus mengandung arti ketidakberdayaan pemerintah menghadapi instabilitas global yang melanda rakyat dalam keprihatinan yang semakin panjang. Bukan lagi isu politik eksploitasi kemiskinan yang pernah dikecam Presiden Yudhoyono sendiri, melainkan kenyataan yang diakui bahwa pemerintahannya gagal mengisi era reformasi membebaskan rakyat dari kelaparan fisik, psikis, sosial, dan spiritual, warisan dari Orde Baru.
Siapakah PBB?
Curhat kepada PBB tidak beda dengan mengadukan nasib kepada negara-negara penyandang dana tertinggi PBB; AS sebesar 22%, Jepang 16,6%, dan Jerman, Inggris, Prancis, Italia, Kanada dan seterusnya (2007). Padahal, kedua negara dan koalisinya itu sudah memberi bantuan sejak Indonesia terjerembab dalam krisis moneter 1997. Mereka juga membantu saat terjadi bencana alam bertubi-tubi, gempa bumi dan tsunami di Aceh hingga gempa bumi yang masih mengguncang Bengkulu dan wilayah di Indonesia Timur. Kendati keberadaan mereka pernah dicurigai sebagai biang pemiskinan rakyat Indonesia, negara-negara ini adalah yang paling proaktif memberikan dana bantuan darurat, menyosialisasikan program pembangunan dari PBB; membangun masyarakat teknologi informasi disaster risk reduction dan global warming, sekaligus mengusahakan dana hibah untuk keperluan studi itu, dana pinjaman lunak untuk proyek percontohannya dengan bunga lebih kecil ketimbang bunga pinjaman yang ditentukan BI untuk rakyat.
Berakhirnya pesta pora KKN Orde Baru dan semakin mantapnya demokrasi politik dan transparansi di Indonesia adalah harapan baru untuk AS, Jepang, Uni Eropa, Timur Tengah blok Arab Saudi bersama-sama dengan Indonesia bermaksud menjadikan Indonesia sebagai pusat ASEAN, dan stimulator pertumbuhan ekonomi sipil internasional untuk mencapai millenium development goal. Namun, gaung itu tidak tertangkap oleh pemerintah Indonesia.
Pada akhirnya, para investor berpaling ke negara lain termasuk China sehingga iklim investasi Indonesia 2002-2006 nyaris minus. Jika pun ada perbaikan dari investasi Jepang jumlahnya hanya US$1 miliaran. Itu pun harus berpacu dengan kerugian ekonomi yang diakibatkan bencana alam, Rp110 triliun atau Rp15,8% dari APBN 2007 ditambah lagi dengan terus berlangsungnya KKN, krisis sosial, berbagai penyakit menular, krisis ekonomi, krisis lingkungan, dan krisis tapal batas dan lain sebagainya.
Menlu Hassan Wirajuda dalam refleksi Departemen Luar Negeri Indonesia di akhir 2006 menyatakan, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah diplomasi luar negeri dalam setahun dapat menjadi anggota di sembilan organ penting dunia dengan dukungan suara meyakinkan. Namun sayang, peluang diplomasi yang berhasil diraih secara signifikan itu belum dimanfaatkan.
Menurut dia, Indonesia membangun hubungan dekat dengan negara lain secara politis, dan juga ingin agar kedekatan politis itu dapat diterjemahkan ke dalam menjadi peluang-peluang hubungan ekonomi. Peluang yang sudah dibuka itu, kalau tidak digunakan, justru akan meninggalkan kita karena negara lain pun berhubungan dengan sejumlah negara lainnya.
Pemerintahan Yudhoyono-Kalla tidak sensitif terhadap geopolitik dan peta ekonomi internasional. Selain dana penanggulangan darurat, pemerintah RI tidak memiliki dana membangun negerinya yang bisa menghasilkan return secara berkesinambungan. Pada 2015, akan terjadi ledakan penduduk jumlahnya mencapai 300 juta jiwa lebih. Hingga kini, Indonesia tidak memiliki rencana induk program pembangunan nasional. Bukannya mengakomodasi kepentingan AS, Uni Eropa dan Jepang, Indonesia malah menyeberang ke negara-negara rival dari blok Barat. Lalu, bagaimana kira-kira, Sekjen PBB nanti bisa memberikan solusi terhadap permasalahan yang akan dilayangkan Presiden Yudhoyono?