Pendidikan Indonesia sudah kehilangan arah. Pendidikan di Indonesia dalam bentuk sekolah telah tercerabut dari akar kesejarahan sistem pendidikan nasional. Pendidikan di Indonesia sudah tidak lagi bertumpu pada nilai-nilai dasar pendidikan yang memerdekakan, pendidikan yang menyadarkan dan pendidikan yang memanusiakan manusia muda dan pengangkatan manusia muda ke taraf insani. Pendidikan di Indonesia hanya berorientasi pasar.
Buktinya, pemerintah sekarang sedang menggalakkan pendidikan tingkat satuan pendidikan menengah atas berbasis kerja, yaitu sekolah menengah kejuruan (SMK). Pemerintah berencana akan mengubah pola pendidikan Indonesia dengan perbandingan 70% untuk SMK dan 30% untuk sekolah menengah atas (SMA). Lulusan SMA dalam pandangan pemerintah hanya menghasilkan lulusan tidak siap kerja kalau tidak mau disebut pengangguran. Maka, guna mengurangi angka pengangguran, pemerintah melakukan ‘terobosan’ dengan menciptakan SMK. Lulusan SMK dalam pandangan pemerintah lebih siap untuk bekerja dan mengurangi pengangguran.
Bukan fase bekerja
Pendidikan di Indonesia hanya dimaknai sebagai salah satu untuk mendapatkan pekerjaan agar tidak menjadi pengangguran (link and match). Padahal, link and match pernah dikritik Soetandyo Wignyosoebroto, Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Menurut Pak Tandyo—begitu orang menyapanya—sekolah itu bekal untuk menata hidup yang lebih baik. Bukan fase yang harus dilalui sebelum bekerja. Kalau konsepnya seperti itu, betapa sempitnya dunia pendidikan (Agus Wahyudi: 2006).
Kritikan Pak Tandyo itu cukup beralasan. Pendidikan bukan salah satu fase untuk bekerja. Pendidikan adalah proses hidup. Jadi pendidikan dalam bentuk sekolah bukan untuk bekerja. Maka dari itu, konsep pemerintah membangun SMK secara besar-besaran itu pada dasarnya menunjukkan pemerintah saat ini sudah keblinger. Salah jalur. Tidak tahu filosofi pendidikan.
Lebih dari itu, penyiapan tenaga kerja siap pakai ala SMK juga tidak sesuai dengan iklim Indonesia. Indonesia bukan negara industri yang membutuhkan banyak tenaga kerja siap pakai seperti Jepang. Indonesia masih menjadi negara agraris. Kalau toh kita akan menjadi negara industri, Indonesia sudah tidak lagi mempunyai sumber daya alam sebagai modal. Sumber daya alam Indonesia sudah dikeruk dan dikuras habis oleh korporasi internasional. Masyarakat Indonesia sekarang tinggal menunggu kehancuran bumi Indonesia. Hal itu karena daya isap korporasi tidak akan menyisakan sedikit pun sumber daya alam untuk masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia akan menjadi asing dan miskin di negerinya sendiri.
Tenaga kerja instan Pembangunan sumber daya manusia melalui SMK dengan mengabaikan filosofi pendidikan hanya akan menghasilkan buruh-buruh yang keringat mereka diperas untuk memuaskan nafsu serakah korporasi internasional. Mereka hanya akan dibayar dengan upah murah. Sewaktu-waktu mereka dapat diberhentikan dengan paksa.
Apakah pemerintah sekarang sempat berpikir seperti itu? Tampaknya, pemerintah tidak memedulikan hal tersebut. Yang ada dalam otak pembuat kebijakan yang keliru itu adalah bagaimana mempersiapkan tenaga kerja instan (siap) kerja dalam waktu cepat sehingga kinerja pemerintahan dapat dinilai dengan nilai A. Pemerintah pun dapat mengklaim telah berhasil mengurangi jumlah pengangguran dan kemiskinan karena anak-anak orang miskin sekarang sudah sekolah di SMK dan siap bekerja dengan kemampuan dan keterampilan mereka.
Pemerintah lebih bangga melihat banyak masyarakat bekerja dengan ketidakberdayaan daripada melihat masyarakatnya mandiri karena mereka memiliki ilmu dan pengalaman yang memerdekakan. Program pendidikan siap kerja melalui SMK merupakan program prestisius miskin strategi dan makna. Ia tidak ubahnya seperti program penggemukan sapi yang marak akhir-akhir ini di beberapa daerah. Sapi yang semula kecil diberi makan sebanyak mungkin, setelah itu sapi siap jual dengan harga tinggi.
Pemerintah dengan program itu hanya ingin menyombongkan diri dengan data statistik bawah periode pemerintahan kali ini telah berhasil membuat kebijakan yang dibutuhkan masyarakat, yaitu lulus langsung kerja. Padahal sebagaimana kita ketahui, data statistik selalu saja bisa ‘diperjualbelikan’ sesuai dengan keinginan penguasa
Ketidakberdayaan pemerintah
Selanjutnya, proyek prestisius SMK juga tidak dibarengi kesiapan dana yang memadai oleh pemerintah. Pemerintah hingga kini belum dapat memenuhi amanat UUD 1945 tentang penyediaan anggaran pendidikan minimal 20%. Anggaran itu baru bisa dipenuhi pada APBN 2009.
Ketidakberdayaan pemerintah menyediakan dana anggaran minimal 20% dalam APBN jelas merugikan masyarakat Indonesia. Orang tua calon peserta didik gusar, karena biaya masuk SMK lebih mahal jika dibandingkan dengan SMA. Seorang orang tua peserta didik harus membayar biaya pangkal Rp2.500.000 untuk masuk SMK di wilayah Jawa Tengah. Biaya tersebut belum termasuk SPP Juli yang sudah harus dibayar sebesar Rp200 ribu. Tentunya hanya orang-orang kaya yang dapat masuk SMK.
Program prestisius itu hanya meninggalkan kedukaan bagi wong cilik (orang miskin). Lebih dari itu, program itu telah meninggalkan filosofi pendidikan yang telah diajarkan para foundhing fathers and mothers.
Bapak dan ibu bangsa telah mengajarkan bahwa pendidikan adalah usaha menyadarkan manusia (YB Mangunwijaya), memerdekakan dengan sistem among (Ki Hajar Dewantara) dan memanusiakan manusia muda dan mengangkat manusia muda ke taraf insani (Driyarkara). Bapak dan ibu bangsa tidak pernah mengajarkan bahwa sekolah adalah fase untuk bekerja. Sekolah atau berpendidikan bukan untuk bekerja. Pendidikan adalah bekal untuk hidup mandiri.
Pada akhirnya, program prestisius SMK sudah saatnya dikoreksi agar tidak kehilangan arah. Ketika tidak ada kemauan dari pemerintah untuk membenahi program itu, patutlah kita pertanyakan, mau ke mana pendidikan Indonesia? Wallahualam.
Penulis adalah, Penulis Buku Agenda Pendidikan Nasional